Pages

Saturday, November 28, 2015

DEFINISI BID’AH, HADITS DHO’IF DAN SEJARAH RINGKAS PARA IMAM DAN MUHADDITSIN

BAB I
DEFINISI BID’AH, HADITS DHO’IF DAN SEJARAH RINGKAS
PARA IMAM DAN MUHADDITSIN
I.1. DEFINISI BID’AH
I.1.1. Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.
Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak
menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa membuat - buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya
dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya
dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya”
(Shahih Muslim hadits No.1017. Demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah,
Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini
menjelaskan makna Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Dhalalah.

Perhatikan hadits beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila kalian
mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas Islam, maka
perbuatlah. Alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik ummat, beliau
saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan
berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela
kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal - hal yang baru demi menjaga muslimin
lebih terjaga dalam kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap
akan bisa dipakai hingga akhir zaman. Dan inilah makna ayat : “ALYAUMA AKMALTU
LAKUM DIINUKUM.. (dst)” “hari ini Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian,
Ku-sempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan Ku-ridhai Islam sebagai agama
kalian”. (QS. Al-Maidah : 3). Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada
pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah
masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan Rasul-Nya, alangkah
sempurnanya Islam.

Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena
setelah ayat ini masih ada banyak ayat – ayat lain turun, masalah hutang dll. Berkata Para
Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih
dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini,
maka Musyrikin tidak lagi masuk Masjidil Haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik

boleh - boleh saja.
Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan
syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa - apa yang sudah diharamkan oleh
Rasul saw atau sebaliknya. Inilah makna hadits beliau saw : “Barangsiapa yang membuat –
buat hal baru yang berupa keburukan...(dst)”, inilah yang disebut Bid’ah Dhalalah.
Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka
beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan
menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yang ada
di zaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan
membuat buat hal yang buruk (Bid’ah Dhalalah).

Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja,
maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena
hadits diatas jelas – jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti
dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.

I.1.2. Siapakah yang pertama memulai Bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw?

أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَُّه عَنْهُ قَالَ
أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ عِنْدَهُ قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَُّه عَنْهُ إِنَّ
عُمَرَ أَتَانِي فَقَالَ إِنَّ الْقَتْلَ قَدْ اسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِقُرَّاءِ الْقُرْآنِ وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ بِالْقُرَّاءِ
بِالْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبَ كَثِيرٌ مِنْ الْقُرْآنِ وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ لِعُمَرَ كَيْفَ تَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ
رَسُولُ اللَِّه صَلَّى اللَُّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُمَرُ هَذَا وَاللَِّه خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللَُّه صَدْرِي
لِذَلِكَ وَرَأَيْتُ فِي ذَلِكَ الَّذِي رَأَى عُمَرُ قَالَ زَيْدٌ قَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ لَا نَتَّهِمُكَ وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ
الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللَِّه صَلَّى اللَُّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَتَبَّعْ الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ فَوَاللَِّه لَوْ كَلَّفُونِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ الْجِبَالِ
الْقُرْآنِ قُلْتُ كَيْفَ تَفْعَلُونَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَِّه صَلَّى اللَُّه مَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هُوَ وَاللَِّه خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ أَبُو بَكْرٍ يُرَاجِعُنِي حَتَّى .َرَحَ اللَُّه صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ لَهُ صَدْرَ
أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَُّه عَنْهُمَا فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ

“Bahwa Sungguh Zeyd bin Tsabit ra berkata : Abubakar ra mengutusku ketika terjadi
pembunuhan besar - besaran atas para sahabat (Ahlul Yamaamah), dan bersamanya
Umar bin Khattab ra, berkata Abubakar : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku
dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan
terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq
ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : “Bagaimana aku berbuat suatu
hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..??, maka Umar berkata padaku bahwa “Demi
Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku
sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan
Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau
tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan
kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!” berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh
bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung - gunung tidak seberat
perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat
sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw??”, maka Abubakar ra mengatakannya
bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan
dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai
mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits No.4402 dan 6768).

Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar Asshiddiq ra mengakui
dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
sependapat dengan Umar”. Hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu
mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya Alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu
buku, tapi terpisah - pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok,
dihafal dll. Ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.
Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah Hasanah
mengenai semua bid’ah adalah kesesatan. Diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan
shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati
berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah..
seakan akan ini adalah wasiat untuk perpisahan.., maka beri wasiatlah kami..” maka
Rasul saw bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan
dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak Afrika, sungguh diantara
kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf (perbedaan pendapat),
maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka
itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat – kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk
kesungguhan), dan hati - hatilah dengan hal - hal yang baru, sungguh semua yang Bid’ah
itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits No.329).

Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan
sunnah Khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yang baru
selama itu baik dan tak melanggar syariah. Dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat
sendiri bagaimana Abubakar Asshiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan
menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul
saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman
bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat
Radhiyallahu’anhum.

Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin
melakukan bid’ah hasanah, Abubakar Asshiddiq ra di masa kekhalifahannya memerintahkan
pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya
memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata : “Inilah sebaik - baik Bid’ah!” (Shahih
Bukhari hadits No.1906) lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin
Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama “Mushaf Utsmaniy”, dan Ali bin Abi
Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu dan seluruh sahabat Radhiyallahu’anhum.
kenalilah akidahmu 2 5

Demikian pula hal yang dibuat - buat tanpa perintah Rasul saw adalah 2X adzan di Shalat
Jumat, tidak pernah dilakukan di masa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah Abubakar
Asshiddiq ra, tidak pula di masa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan di masa Utsman
bn Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bukhari hadits No.873). Seluruh madzhab
mengikutinya.

Lalu siapakah yang salah dan tertuduh? Siapakah yang lebih mengerti larangan Bid’ah?
Adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna
Bid’ah?

TAMBAHAN DALAM HAL BID’AH HASANAH

Mengenai ucapan Al Hafidh Al Imam Assyaukaniy, beliau tidak melarang hal yang baru,
namun harus ada sandaran dalil secara logika atau naqli-nya, maka bila orang yang bicara
hal baru itu punya sandaran logika atau sandaran naqli-nya, maka terimalah, sebagaimana
ucapan beliau :
وهذا الحديث من قواعد الدين لأنه يندرج تحته من الأحكام ما لا يأتي عليه الحصر
وما مصرحه وأدله على إبطال ما فعله الفقهاء من تقسيم البدع إلى أقسام وتخصيص
الردببعضها بلا مخصص من عقل ولا نقل
فعليك إذا سمعت من يقول هذه بدعة حسنة بالقيام في مقام المنع مسندا له بهذه
الكلية وما يشابهها من نحو قوله صلى الله عليه وآله وسلم كل بدعة ضلالة طالبا لدليل
تخصيص تلك البدعة التي وقع النزاع في شأنها بعد الاتفاق على أنها بدعة فإن جاءك به
قبلته وإن كاع كنت قد ألقمته حجرا واسترحت من المجادلة
“Hadits – hadits ini merupakan kaidah - kaidah dasar agama karena mencakup hukum
- hukum yang tak terbatas, betapa jelas dan terangnya dalil ini dalam menjatuhkan
perbuatan para fuqaha dalam pembagian Bid’ah kepada berbagai bagian dan
mengkhususkan penolakan pada sebagiannya (penolakan terhadap Bid’ah yang baik)
dengan tanpa mengkhususkan (menunjukkan) hujjah dari dalil akal ataupun dalil tulisan
(Alqur’an / hadits),

Maka bila kau dengar orang berkata : “ini adalah bid’ah hasanah”, dengan kau pada
posisi ingin melarangnya, dengan bertopang pada dalil bahwa keseluruhan Bid’ah
adalah sesat dan yang semacamnya sebagaimana sabda Nabi saw “semua Bid’ah adalah
sesat” dan (kau) meminta alasan pengkhususan (secara aqli dan naqli) mengenai hal
Bid’ah yang menjadi pertentangan dalam penentuannya (apakah itu bid’ah yang baik
atau bid’ah yang sesat) setelah ada kesepakatan bahwa hal itu Bid’ah (hal baru), maka
bila ia membawa dalilnya (tentang Bid’ah hasanah) yang dikenalkannya maka terimalah,
bila ia tak bisa membawakan dalilnya (secara logika atau ayat dan hadits) maka sungguh
kau telah menaruh batu dimulutnya dan kau selesai dari perdebatan” (Naylul Awthaar
Juz 2 hal 69-70).

Jelaslah bahwa ucapan Imam Assyaukaniy menerima Bid’ah hasanah yang disertai dalil
Aqli (Aqliy = logika) atau Naqli (Naqli = dalil Alqur’an atau hadits). Bila orang yang
mengucapkan pada sesuatu itu Bid’ah hasanah namun ia TIDAK bisa mengemukakan alasan
secara logika (bahwa itu baik dan tidak melanggar syariah), atau tak ada sandaran naqli-nya
(sandaran dalil hadits atau ayat yang bisa jadi penguat) maka pernyataan tertolak. Bila ia
mampu mengemukakan dalil logikanya, atau dalil Naqli-nya maka terimalah. Jelas - jelas
beliau mengakui Bid’ah hasanah.

Berkata Imam Ibn Rajab :
جوامع الكلم التي خص بها النبي صلى الله عليه وسلم نوعان، أحدهما ما هو في
القران كقوله تعالى إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء
والمنكر والبغي. قال الحسن لم تترك هذه الاية خيرا إلا أمرت به ولا شرا إلا نهت عنه
والثاني ما هو في كلامه صلى الله عليه وسلم وهو منتشر موجود في السنن المأثورة عنه
صلى الله عليه وسلم انتهى

“Seluruh kalimat yang dikhususkan pada Nabi saw ada 2 macam, yang pertama adalah
Alqur’an sebagaimana firman-Nya swt : “Sungguh Allah telah memerintahkan kalian
berbuat adil dan kebaikan, dan menyambung hubungan dengan kaum kerabat, dan
melarang kepada keburukan dan kemungkaran dan kejahatan” berkata Alhasan bahwa
ayat ini tidak menyisakan satu kebaikan pun kecuali sudah diperintahkan melakukannya,
dan tiada suatu keburukan pun kecuali sudah dilarang melakukannya. Maka yang kedua
adalah hadits beliau saw yang tersebar dalam semua riwayat yang teriwayatkan dari beliau
saw. (Jaamiul uluum walhikam Imam Ibn Rajab juz 2 hal 4), dan kalimat ini dijelaskan
dan dicantumkan pula pada Tuhfatul ahwadziy).

Jelas sudah segala hal yang baik apakah sudah ada dimasa Rasul saw ataupun belum, sudah
diperintahkan dan dibolehkan oleh Allah swt, apakah itu berupa penjilidan Alqur’an, ilmu
nahwu, ilmu sharaf, ilmu mustalahul hadits, maulid, Alqur’an digital, dlsb. Dan semua hal
buruk walau belum ada dimasa Nabi saw sudah dilarang Allah swt, seperti narkotika, ganja,
dlsb.

I.1.3. Bid’ah Dhalalah.
Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan
Bid’ah Dhalalah, dan Bid’ah Dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafian sunnah, penolakan
ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin. Nah…diantaranya adalah penolakan
atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan
oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas – jelas
memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah
Khulafa’urrasyidin. Bagaimana sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan bid’ah hasanah,
bagaimana sunnah khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan bid’ah hasanah, maka penolakkan
atas hal inilah yang merupakan bid’ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul saw.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan
membid’ahkan kitab Alqur’an dan kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok agama
Islam karena kedua kitab tersebut (Alqur’an dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw
untuk membukukannya dalam satu kitab masing - masing, melainkan hal itu merupakan
ijma’ atau kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan
setelah Rasulullah saw wafat.

Buku hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dll. Inipun tak pernah ada perintah
Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya,
namun para Tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw dan memberikan klasifikasi hukum
hadits menurut para periwayatnya. Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, Sharaf,
8 kenalilah akidahmu 2
dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits. Ini semua adalah
perbuatan bid’ah namun Bid’ah Hasanah.
Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas Sahabat, tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu disebut dalam Alqur’an bahwa
mereka para sahabat itu diridhai Allah, namun tak ada dalam ayat atau hadits Rasul saw
memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya. Namun karena kecintaan
para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut dan seluruh
Madzhab mengikutinya.

Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil hadits di atas, lalu muncul pula kini Alqur’an
yang di kasetkan, di CD kan, program Alqur’an di handphone, Alqur’an yang diterjemahkan,
ini semua adalah Bid’ah hasanah.
Bid’ah yang baik, yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan
adanya bid’ah hasanah di atas, maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Alqur’an,
untuk selalu membaca Alqur’an, bahkan untuk menghafal Alqur’an dan tidak ada yang
memungkirinya.

Sekarang kalau kita menarik mundur ke belakang sejarah Islam, bila Alqur’an tidak dibukukan
oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ?
Alqur’an masih bertebaran di tembok - tembok, di kulit onta, di hafalan para Sahabat ra
yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu - ribu versi Alqur’an di zaman
sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing -
masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Alqur’an dan hancurlah Islam. Namun
dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Alqur’an secara utuh dan
dengan adanya bid’ah hasanah ini pula kita masih mengenal hadits – hadits Rasulullah
saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan abadi. Jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah
membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal - hal baru yang
berupa kebaikan (Bid’ah Hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang
hal – hal baru yang berupa keburukan (Bid’ah Dhalalah).

Saudara - saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin
pertama ini, ketahuilah ucapan - ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abubakar
Asshiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan
aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”. Lalu berkata pula Zeyd bin Haritsah ra
: ”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat
oleh Rasulullah saw??”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan,
hingga ia pun (Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) “sampai Allah menjernihkan dadaku
dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”.
Maka kuhimbau saudara - saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima
hal – hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar Asshiddiq ra, hati Umar
bin Khattab ra, hati Zeyd bin Haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah
swt.

Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali
hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum
setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah. Dan Rasul saw sudah
mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan
perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham (yang maksudnya berpeganglah
erat – erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka).

Semoga Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat
dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib
kw dan seluruh sahabat.. amiin
I.1.4. Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi 2, yaitu Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah
Madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang
tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin
Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy
juz 2 hal 86-87)

2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah

“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata)
bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk - buruk permasalahan adalah
hal yang baru, dan semua bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha
wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal – hal yang tidak sejalan dengan
Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum,
sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat
buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat
buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang
mengikutinya” (Shahih Muslim hadits No.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan
mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3. Hujjatul Islam Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah
(Imam Nawawi)

Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam
Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang
sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat – buat hal baru yang buruk dalam
Islam, maka baginya dosanya”. Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan
- kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada
hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah,
dan semua yang bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang
buruk dan bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi : “Bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu bid’ah
yang wajib, bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah
yang haram.

Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil – dalil pada ucapan – ucapan
yang menentang kemungkaran. Contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila
dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku - buku ilmu
syariah, membangun majelis taklim dan pesantren. Dan Bid’ah yang mubah adalah
bermacam – macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas
diketahui. Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum,
sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa “inilah sebaik - sebaiknya
bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

4. Al Hafidh Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah

Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun Makhsush”, (sesuatu yang
umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala
sesuatu” (QS. Al-Ahqaf : 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat
: “Sungguh telah Ku-pastikan ketentuan-Ku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan
manusia keseluruhannya” (QS. Assajdah : 13), dan pada kenyataannya bukan semua
manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh
musyrikin dan orang dhalim) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari
ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh
Assuyuthiy Juz 3 hal 189).

Kemudian bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman
para Muhaddits dan para Imam maka mestilah kita berhati - hati darimanakah ilmu mereka?
Berdasarkan apa pemahaman mereka? atau seorang yang disebut imam padahal ia tak
mencapai derajat Hafidh atau Muhaddits? atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad,
hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa -
fatwa para Imam? (Walillahittaufiq)

I.2. DEFINISI HADITS DHO’IF

Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum
matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan oleh
para Ulama Muhadditsin.

Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya
kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya.
Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan
dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, menjadikan
hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu,
dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan
lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya
sebagai ketentuan hukum thaharah.

Hadits dhoif banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi 81
bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42
bagian. Namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila
untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib. Inilah pendapat yang mu’tamad, namun
tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada hadits palsu.

Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya,
tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits
munkar, atau mardud, batil, maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif
adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits
dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani
menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu
berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.

Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka
hendaknya ia bersiap - siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits
No.110).

Sabda beliau SAW pula : “sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama
seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap
mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.1229).
Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti
mereka melarang sebagian ucapan atau sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul
saw.

Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman
Rasulullah saw. Ilmu hadits itu adalah bid’ah hasanah, baru ada sejak Tabi’in, mereka
membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan tak
dikenal, namun mereka sangat berhati – hati karena mereka mengerti hukum, bila mereka
salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman dalam
kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka ini yang
dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw.

Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang mengaku
– ngaku sebagai pakar hadits. Seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Al Hafidh.
Al Hafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100.000 hadits berikut hukum sanad
dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi
dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya, lalu bagaimana dengan
yang hafal 100.000 hadits?

Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Al Hujjah (Hujjatul Islam) yaitu
yang hafal 300.000 hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang
disebut : Al Hakim, yaitu pakar hadits yang sudah melewati derajat Al Hafidh dan Al Hujjah,
dan mereka memahami banyak lagi hadits – hadits yang teriwayatkan. (Hasyiah Luqathuddurar
Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy).
Sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1.000.000 hadits dengan sanad dan
matannya (*rujuk Tadzkiratul Huffadh dan Siyar A’lamunnubala dan lainnya dari buku -
buku Rijalulhadits) dan Ia adalah murid dari Imam Syafii rahimahullah, dan di zaman itu
terdapat ratusan Imam – Imam pakar hadits.

Perlu diketahui bahwa Imam Syafii ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii
lahir pada tahun 150 Hijriyah dan wafat pada tahun 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari
lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah. Maka sebagaimana sebagian
kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa – fatwa Imam
Syafii dengan berdalilkan Shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii
sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah menjadi Imam besar
sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.

Lalu bagaimana dengan saudara - saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan
pendapat kepada hadits – hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini? Mereka menusuk
fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam - Imam lainnya.
Seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi fatwa
bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka? Apa yang mereka fahami dari ilmu
hadits? Hanya menukil - nukil dari beberapa buku saja, lalu mereka sudah berani berfatwa,
apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku - buku terjemah, memang boleh - boleh
saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini sangat dhoif bila untuk
dijadikan dalil.

Saudara – saudaraku yang kumuliakan, kita tidak bisa berfatwa dengan buku - buku, karena
buku tidak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah
berarti kita tidak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada zaman
sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa - fatwa Imam - Imam
terdahulu, terlebih lagi apabila yang dijadikan rujukan untuk merubuhkan fatwa para Imam
adalah buku terjemahan.

Sungguh buku - buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si penerjemah,
maka bila kita bicara, misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan
Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1.000.000 hadits, lalu berapa luas pemahaman si
penerjemah atau pensyarah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad dalam
terjemahannya?
Bagaimana tidak? Sungguh sudah sangat banyak hadits - hadits yang sirna masa kini, bila
kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1.000.000 hadits,
lalu kemana hadits hadits itu? Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad haditsnya hanya
tertuliskan hingga hadits No.27.688, maka kira kira 970.000 hadits yang dihafalnya itu tak
sempat ditulis…!
Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya? Lalu logika kita, berapa juta
hadits yang sirna dan tak sempat tertuliskan? Mengapa?
Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan
saja seorang Imam besar yang menghadapi ribuan murid – muridnya, menghadapi ratusan
pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan waktu
menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair ditengah redupnya cahaya lilin atau
lentera, atau hadits hadits itu ditulis oleh murid – muridnya dengan mungkin 10 hadits yang
ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat panjang bila
dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya.

Bayangkan betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak ada
telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada pula
percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan.
Penyebaran ilmu dimasa itu adalah dengan ucapan dari guru kepada muridnya (talaqqiy),
dan saat itu buku hanyalah 1% saja atau kurang dibanding ilmu yang ada pada mereka.
Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun paling
tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci dari
kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yang menyeleweng dari syariah akan segera
diketahui karena banyaknya ulama.

Oleh sebab itu sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu berjumpa
dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana ibadah yang tertulis
di buku, mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari gurunya, maka selayaknya
kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti selektif dalam mencari guru, karena
bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula.

Maka hendaknya kita memilih guru yang mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia mempunyai
riwayat guru – guru yang bersambung hingga Rasul saw dan kau betul - betul mengetahui
bahwa ia benar - benar memanut gurunya.

Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada buku
– buku, walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita tak berpedoman
penuh pada buku semata, kita berpedoman kepada guru – guru yang bersambung sanadnya
kepada Nabi saw ataupun kita berpegang pada buku yang penulisnya mempunyai sanad guru
hingga Nabi saw.

Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak sebutkan
dalilnya, apakah kita mendustakannya? Cukuplah sosok Imam Syafii yang demikian mulia
dan tinggi pemahaman Ilmu Syariahnya, lalu ucapan fatwa – fatwanya itu diteliti dan dilewati
oleh ratusan murid – muridnya dan ratusan Imam dan Al Hafidh dan Hujjatul Islam sesudah
beliau, maka itu sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada dan membuat
- buat hukum semaunya, jika ia salah dalam fatwanya mestilah sudah diperbaiki dan dibenahi
oleh ratusan imam sesudahnya.

Maka muncullah dimasa kini pendapat pendapat dari beberapa saudara kita yang membaca
satu, dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam Hakim dhoif,
hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud atau berfatwa dengan
semaunya dan fatwa – fatwa mereka itu tak ada para Imam dan Muhaddits yang menelusurinya
sebagaimana Imam – imam terdahulu yang bila fatwanya salah maka sudah diluruskan oleh
Imam – Imam berikutnya, sebagaimana berkata Imam Syafii : “Orang yang belajar ilmu
tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam,
ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”
(Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
Berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak
punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula Imam Ibnul
Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya
tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz
1 hal 433).

Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan
menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati - hati
dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi.
Maka fahamlah kita, bahwa mereka - mereka yang segera menafikan atau menghapus
hadits dhoif maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu
mana hadits dhoif yang palsu dan mana hadits dhoif yang masih tsiqah untuk diamalkan.
Contohnya hadits dhoif yang periwayatnya maqthu’ (terputus), maka dihukumi dhoif, tapi
makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para Muhaddits akan melihat para
perawinya, bila para perawinya orang - orang yang shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits,
maka hadits itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh diamalkan karena perawinya orang
– orang terpercaya, cuma satu saja yang hilang, dan yang lainnya diakui kejujurannya, maka
mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw. Namun tetap dihukumi dhoif dan paling tidak
ia adalah amalan para sahabat, yang tentu mereka tak punya guru lain selain Rasulullah saw,
dan masih banyak lagi contoh – contoh lainnya.

Masya Allah dari gelapnya kebodohan.. sebagaimana ucapan para ulama salaf : “dalam
kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah terkubur
(oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”. (walillahittaufiq)

I.3. SEJARAH RINGKAS PARA IMAM DAN MUHADDITSIN

1. Hujjatul Islam Al Muhaddits Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris As Syafii
rahimahullah
Dikenal dengan gelar Imam Syafii, lahir pada tahun 150H dan wafat pada 204H, berkata
Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) bahwa tiada kulihat seorang yang lebih mengikuti
hadits selain Muhammad bin Idris Assyafii, berkata pula Imam Ahmad (yang merupakan
murid dari Imam Syafii) aku mendoakan Syafii selama 30 tahun setiap malamnya, dan
Imam Syafii ini berguru kepada Imam Malik, dan ia telah hafal Alqur’an sebelum usia 10
tahun, dan pada usia 12 tahun ia telah hafal Kitab Al Muwatta’ karangan Imam Malik yang
berisi sekitar 2.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya.
2. Hujjatul Islam Al Muhaddits Al Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Beliau wafat pada tahun 241 H dalam usia 77 tahun, beliau berguru pada banyak para Imam
dan Muhaddits, diantara guru beliau adalah Imam Syafi’i rahimahullah, dan beliau hafal
1.000.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya. Beliau digelari sebagai salah satu
“Huffadhuddunia” yaitu salah satu orang yang paling banyak hafal hadits diseluruh dunia
sepanjang zaman, dan beliau rahimahullah banyak mempunyai murid, diantaranya adalah
Imam Muslim rahimahullah.

Diriwayatkan ketika datang seorang pemuda yang ingin menjadi murid beliau maka beliau
berkata pada anak itu : “ini ada 10.000 hadits, hafalkanlah, bila kau telah hafal, barulah
kau boleh belajar bersama murid - muridku”, tentunya murid - murid beliau adalah para
Huffadh dan Muhadditsin yang hafal ratusan ribu hadits, maka pemuda itu pun pergi dan
kembali beberapa waktu kemudian. Ia telah hafal 10.000 hadits yang diberikan oleh Imam
Ahmad itu dan lalu Imam Ahmad berkata : “sungguh hadist yang kau hafal itu adalah
hadits palsu, tidak ada satupun yang shahih, hafalan itu hanya untuk latihan menguatkan
hafalanmu, sebab bila kau salah maka tak dosa”, karena bila ia hafalkan hadits shahih
lalu ia salah dalam menghafalnya maka ia akan membawa dusta dan kesalahan bagi ummat
hingga akhir zaman.

Diriwayatkan ketika Imam Ahmad bin Hanbal hampir wafat, ia wasiat kepada anaknya untuk
menaruhkan 3 helai rambut Rasulullah saw yang memang disimpannya, untuk ditaruhkan 3
helai rambut Rasul saw itu masing - masing di kedua matanya dan bibirnya.
Beliau wafat pada malam jum’at, dan muslimin yang menghadiri shalat jenazahnya sebanyak
800.000 pria dan 60.000 wanita, bahkan bila dihitung dengan kesemua yang datang dan
datang maka mencapai 1.000.000 hadirin.

Berkata Imam Abubakar Almarwazi rahimahullah, aku bermimpi Imam Ahmad bin Hanbal
setelah ia wafat, kulihat ia disebuah taman indah, dengan pakaian jubah hijau dengan
memakai Mahkota Cahaya.

Berkata Imam Abu Yusuf Alhayyan bahwa ketika wafat imam Ahmad, ada orang yang
bermimpi bahwa setiap kubur diterangi pelita, dan pelita itu adalah kemuliaan atas wafatnya
Imam Ahmad bin Hanbal dan banyak dari mereka yang dibebaskan dari siksa kubur karena
wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal diantara mereka.

Berkata Imam Ali bin Al Banaa’, ketika dimakamkan Ummul Qathi’iy didekat makam Imam
Ahmad, maka beberapa hari kemudian ia bermimpi berjumpa Ummul Qathi’iy, seraya berkata
: “Terimakasih atasmu yang telah memakamkanku disamping kubur Imam Ahmad, yang
setiap malam Rahmat turun dikuburnya dan Rahmat itu menyeluruh pada ahlil kubur
disini hingga akupun termasuk diantara yang mendapatkannya”.

3. Hujjatul Islam Al Muhaddits Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al
Bukhari rahimahullah

Beliau lahir pada hari jum’at selepas shalat jum’at 13 Syawal 194 H dan beliau wafat pada
malam jumat yang sekaligus malam Idul Fitri tahun 256 H.
Berkata Imam Muhammad bin Yusuf Al Farbariy, aku mendengar dari Najm bin Fudhail
berkata: “aku bermimpi Rasulullah saw dan kulihat Imam Bukhari dibelakang beliau
saw, setiap beliau saw melangkah sebuah langkah, dan Imam Bukhari melangkah pula
dan menaruhkan kakinya tepat dibekas pijakan Nabi saw”.

Ketika dikatakan kepada Imam Bukhari bahwa ada disuatu wilayah yang barangsiapa
orang asing yang datang ke wilayah mereka maka saat setelah shalat maka penduduk
setempat akan mencobanya dengan hadits – hadits tentang shalat, maka Imam Bukhari
berkata : “Bila aku diperlakukan seperti itu akan kukeluarkan 10.000 hadits shahih
mengenai shalat dihadapan mereka agar mereka bertaubat dan tidak lagi mengulangi
perbuatan buruk itu”.

Imam Bukhari telah menulis shahih-nya sebanyak sekitar 7.000 hadits saat beliau belum
berusia 17 tahun, dan ia telah hafal 100.000 hadits shahih dan 200.000 shahih di usia
tersebut.

Berkata Imam Al Hafidh Muhammad bin Salam rahimahullah : “kalau datang si bocah
ini maka aku terbata - bata dan tak nyaman membaca hadits”, dan ia berkata kepada
seorang tamunya yang datang setelah Imam Bukhari pergi : “kalau kau datang lebih
cepat sedikit kau akan berjumpa dengan bocah yang hafal lebih dari 70.000 hadits..”,
maka tamunya segera bergegas menyusul Imam Bukhari, dan Imam Bukhari berkata :
“sungguh aku hafal lebih dari itu, dan akan kujelaskan padamu semua masing – masing
sanad periwayat hadits-nya, dimana lahirnya, tahun kelahiran dan wafatnya, sifat dan
sejarah periwayat sanad - sanadnya dari semua hadits itu”.

Ketika salah seorang perawi hadits bertanya kepada Imam Bukhari mengenai nama - nama
periwayat, gelar, bentuk kesalahan sanad hadits dll, maka Imam Bukhari menjawabnya
bagaikan membaca surat Al Ikhlas.
Berkata Imam Bukhari : “aku berharap menghadap Allah tanpa ada hisab bahwa aku
pernah menggunjing aib orang lain”.
Suatu hari Imam Bukhari mengimami shalat dhuhur disebuah kebun korma, dan didalam
bajunya terdapat seekor Zanbur (kumbang hitam) yang menggigit dan menyengatnya hingga
16 sengatan, selepas shalat Imam Bukhari berkata dengan tenang : “coba kalian lihat ada
apakah di dalam baju lenganku ini”, maka ditemukanlah 16 luka sengatan kumbang di
tubuhnya.

Suatu ketika Imam Bukhari membacakan sanad hadits dan saat ia melirik dilihatnya ada orang
yang terkesima dengan ucapannya, dan Imam Bukhari tertawa dalam hati, keesokan harinya
Imam Bukhari mencari orang itu dan meminta maaf dan ridho karena telah menertawakannya,
padahal ia hanya menertawakan didalam hati.
20 kenalilah akidahmu 2

Diriwayatkan ketika Imam Bukhari sedang mengajari hadits kepada salah seorang muridnya
dan ia tampak bosan, maka Imam Bukhari berkata : “para pedagang sibuk dengan
perdagangannya, para pegawai sibuk dengan pekerjaannya, dan engkau bersama Nabi
Muhammad saw”.

Imam Bukhari menulis shahih-nya (Shahih Bukhari) di Raudhah, yaitu antara Mimbar
dan Makam Rasulullah saw di Masjid Nabawiy Madinah Almunawwarah, dan ia mandi
dan berwudhu lalu shalat 2 rakaat baru menulis satu hadits, lalu kembali mandi, berwudhu
dan shalat 2 rakaat, lalu menulis 1 hadits lagi, demikian hingga selesai di hadits No.7124.
Maka selesailah 7.000 hadits itu ditulis di kitab beliau, dengan bertabarruk dengan Makam
Rasulullah saw dan Mimbar Rasul saw.

Berkata Imam Muslim dihadapan Imam Bukhari : “Izinkan aku mencium kedua kakimu
wahai Pemimpin para Muhadditsin, guru dari semua guru hadits”.
Dikatakan kepada Imam Bukhari, mengapa tak kau balas orang yang memfitnahmu dan
mencacimu?, ia menjawab : “aku teringat ucapan Rasul saw : “akan muncul kelak ikhitilaf
dan perpecahan, maka bersabarlah hingga kalian menjumpai aku di telaga haudh”.
Imam Bukhari mempunyai akal yang jenius, dan ia hafal bila mendengar 1X saja. Atau
membaca 1X saja. Hingga ketika suatu ketika Imam Bukhari dicoba dan diajukan padanya
100 hadits yang dikacaukan dan dibolak - balik sanadnya, maka Imam Bukhari berkata :
“tidak tahu… tidak tahu”, hingga hadits yang ke-100, lalu Imam Bukhari berpidato,
mengulang hadits yang pertama yang disebut si penanya : “kau tadi sebut hadits dengan
sanad seperti ini, dan yang benar adalah begini”, demikian hadits kedua.. ketiga… hingga
100 hadits.

Ketika telah wafatnya Imam Bukhari, terjadi kekeringan yang berkepanjangan, maka para
Ulama, Huffadh dan Muhadditsin dari wilayah samraqand berduyun – duyun ke Makam
Imam Bukhari, lalu mereka bertawassul pada Imam Bukhari, maka hujan pun turun dengan
derasnya hingga 7 malam mereka tertahan dan tak bisa pulang ke samraqand karena derasnya
hujan.

4. Hujjatul Islam Al Muhaddits Al Imam Abul Husein Muslim bin Hajjaj Alqusyairiy
Annaisaburiy rahimahullah (Imam Muslim)

Beliau lahir pada tahun 204 H dan wafat pada Rajab 261 H, beliau adalah Imam Mulia
yang menjadi peringkat kedua dari seluruh para Muhadditsin, yaitu setelah Imam Bukhari
rahimahullah, beliau ini adalah murid daripada Imam Ahmad bin Hanbal, dan ia digelari
sebagai salah satu Huffadhuddunia. Bersama Imam bukhari, yaitu salah satu dari Imam yang
dalam peringkat tertinggi dari para Hafidhul Hadits, ia menulis hadits shahih pada usianya 15
tahun sebanyak 12.000 hadits shahih dan menyingkat itu semua dari 300.000 hadits.
Berkata para Muhaddits : “bila kita mencatat hadits selama 200 tahun maka tetaplah kita
harus kembali berpegang pada Musnad Imam Muslim”.

5. Hujjatul Islam Al Muhaddits Al Imam Malik bin Anas bin Malik Al Ashbahiy Al
Madaniy rahimahullah

Beliau lahir pada tahun 93 H, dan wafat pada rabiul awal 179 H. Beliau adalah penulis kitab
yang sangat termasyhur, yaitu Al Muwatta’, yang mengandung 2.000 hadits dan sanadnya.
Beliau adalah seorang Ulama agung di Madinah Almunawwarah dan sangat berwibawa.
Diriwayatkan bila orang - orang mencambuk onta – ontanya untuk berusaha kemana
- mana mencari seorang ulama yang paling tinggi keluasan ilmunya, niscaya mereka tak
akan temukan ulama yang ilmunya melebih Sang Alim yang di Madinah, yaitu Imam Malik
rahimahullah, Imam Malik adalah Guru Imam Syafii.

Berkata Imam Syafii : “bila ulama disebut sebut, maka Imam Malik adalah bintang
yang berpijar”. Dan berkata Imam Syafii : “kalau bukan karena Imam Malik dan Imam
Ibn Huyaynah, niscaya telah sirna ilmu di Hijaz (jazirah arab)”. Berkata Imam Syafii :
“tak ada kitab yang lebih mengandung kejelasan dan pembenaran yang menyamai Al
Muwatta’ Imam Malik”.

Imam Malik berpakaian rapih dan selalu menggunakan minyak wangi.
Berkata Imam Al hafidh Wuhaib bahwa Imam semua ahli hadits adalah Imam Malik.
Berkata Imam Qutaibah, bila Imam Malik keluar menyambut tamunya beliau berpakaian
indah, memakai sifat mata, wewangian dan membagi – bagikan kipas kepada masing -
masing tamunya, ia adalah Imam yang sangat berwibawa, majelis dirumahnya selalu hening
dan tak ada suara keras dan tak pula ada yang berani mengeraskan suaranya, ruangan beliau
dipenuhi kesejukan dan ketenangan, dan beliau dimakamkan di kuburan Baqi’
Diriwayatkan bahwa bila Imam Malik akan membacakan hadits maka ia berwudhu,
lalu merapikan janggut putihnya, lalu duduk dengan wibawa dan tenang, menggunakan
wewangian, barulah beliau mengucapkan hadits Rasulullah saw, ketika ditanyakan kepadanya
mengenai itu, beliau berkata : “aku mengagungkan hadits Nabi saw, aku tak menyukai
mengucapkan hadits terkecuali dalam keadaan suci”, dan beliau tak suka mengucapkan
hadits dalam perjalanan atau dalam terburu - buru.

Bila ada orang yang mengeraskan suara saat beliau membaca hadits Nabi saw maka beliau
berkata : “jangan kau keraskan suaramu, rendahkan suaramu, karena Allah telah
berfirman : Wahai Orang orang yang beriman, jangan kau keraskan suaramu didepan
Rasulullah saw, maka barangsiapa yang mengeraskan suaranya didepan hadits Rasulullah
saw sama dengan mengeraskan suaranya dihadapan Rasulullah saw”.
Imam Malik berkata : “Ilmu bukanlah dengan berpanjang - panjang riwayat, tetapi cahaya
yang disimpan Allah didalam sanubari”.
6. Hujjatul Islam Al Muhaddits Al Imam Nu’man bin Tsabit dikenal dengan Abu
Hanifah (Imam Hanafi) rahimahullah
Beliau wafat pada tahun 150 H, ada pendapat yang mengatakan kelahirannya pada tahun
61 H, Imam Abu Hanifah belasan tahun lebih tua dari Imam Malik, dan mereka hidup
dalam satu zaman, namun diriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah sangat memuliakan dan
menghormati Imam Malik di Madinah Almunawwarah.
Imam Abu Hanifah banyak ditentang para Muhadditsin dan sebagian besar menilai haditsnya
dhaif, dan beberapa fatwanya yang tampak kurang sesuai dengan Jumhur Ulama. Namun
sebagian pendapat mengatakan karena justru hal itu disebabkan karena di masa beliau adalah
masa dahsyatnya fitnah, dan beliau tergolong kepada generasi Tabi’in
(*sumber : Asshafwatusshofwah, Tadzkiratul Huffadh, Siyar fii A’laaminnubala, Tanbihul
Mughtarrin, Tariikh Asshaghir, Tarikh Al Baghdad, Fathul Baari Al masyhur).

0 komentar:

Post a Comment