PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad berasal dari kataijtahada
yajtahidu ijtihadan artinya mengerahkan
kemampuan dalam menanggung beban.Pengertian Ijtihad terbagi atas 2 yaitu pengertian ijtihad menurut bahasa dan
pengertian ijtihad menurut istilah. Pengertian ijtihad
menurut bahasa adalah bersungguh-sungguh dalam mencurahkan
pikiran. sedangkan pengertian ijtihad
menurut istilah adalah mencurahkan seluruh tenaga dan
pikiran dengan sungguh-sungguh dalam menetapkan hukum syariat. jadi, Ijtihad
dapat terjadi jika pekerjaan yang dilakukan terdapat unsur-unsur kesulitan.
Pengertian Ijtihad secara termologis adalah mencurahkan seluruh kemampuan dalam mencari syariat dengan cara-cara tertentu. Ijtihad termasuk sumber-sumber hukum islam yang ketiga setelah Al-Qu'an, Hadist, yang memiliki fungsi dalam menetapkan suatu hukum dalam islam. Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Pengertian Ijtihad secara umum adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur'an dan Hadist dengan syarat menggunakan akal sehat dan juga pertimbangan matang.
Tujuan Ijtihad adalah memenuhi keperluan umat manusia dalam beribadah kepada Allah di tempat dan waktu tertentu. sedangkan Fungsi Ijtihad adalah untuk mendapatkan solusi hukum, jika terdapat suatu masalah yang harus diterapkan hukumnya, namun tidak dijumpai pada Al-Qur'an dan Hadist. Fungsi Ijtihad sangat penting karena telah diakui kedudukan dan legalitasnya dalam islam, namun tidak semua orang dapat melakukan ijtihad, hanya dengan orang-orang tertentu yang dapat memenuhi syarat-syarat menjadi mujtahid seperti yang ada dibawah ini....
Pengertian Ijtihad secara termologis adalah mencurahkan seluruh kemampuan dalam mencari syariat dengan cara-cara tertentu. Ijtihad termasuk sumber-sumber hukum islam yang ketiga setelah Al-Qu'an, Hadist, yang memiliki fungsi dalam menetapkan suatu hukum dalam islam. Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Pengertian Ijtihad secara umum adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur'an dan Hadist dengan syarat menggunakan akal sehat dan juga pertimbangan matang.
Tujuan Ijtihad adalah memenuhi keperluan umat manusia dalam beribadah kepada Allah di tempat dan waktu tertentu. sedangkan Fungsi Ijtihad adalah untuk mendapatkan solusi hukum, jika terdapat suatu masalah yang harus diterapkan hukumnya, namun tidak dijumpai pada Al-Qur'an dan Hadist. Fungsi Ijtihad sangat penting karena telah diakui kedudukan dan legalitasnya dalam islam, namun tidak semua orang dapat melakukan ijtihad, hanya dengan orang-orang tertentu yang dapat memenuhi syarat-syarat menjadi mujtahid seperti yang ada dibawah ini....
Syarat-Syarat Menjadi Ijtihad
(Mujtahid)
- Mengetahui ayat dan sunnah yang berhubungan
dengan hukum.
- Mengetahui masalah-masalah yang telah di
ijma’kan oleh para ahlinya
- Mengetahui Nasikh dan Mansukh.
- Mengetahui bahasa arab dan ilmu-ilmunya dengan
sempurna.
- Mengetahui ushul fiqh
- Mengetahui dengan jelas rahasia-rahasia
tasyrie’ (Asrarusyayari’ah).
- Menghetahui kaidah-kaidah ushul fiqh
- Mengetahui seluk beluk qiyas.
MAKNA IJTIHAD
Di kalangan ulama ushul, ijtihad diistilahkan
dengan, “istafrâgh al-wus‘î fî thalab adz-dzann bi syai’i min ahkâm
asy-syar‘iyyah ‘alâ wajh min an-nafs al-‘ajzi ‘an al-mazîd fîh (mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan
melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan.” (Al-Amidi,ibid., hlm. 309. Lihat juga: an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, I/197).
Berdasarkan definisi di atas,
kita bisa menyimpulkan, bahwa iijtihad adalah proses menggalihukum syariat dari dalil-dalil yang bersifat zhanni dengan mencurahkan segenap tenaga dan kemampuan hingga tidak
mungkin lagi melakukan usaha lebih dari itu. Dengan kata lain, suatu aktivitas
diakui sebagai ijtihad jika memenuhi tiga poin berikut ini:
Pertama, ijtihad hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Menurut al-Amidi, hukum-hukum yang sudah qath‘i (pasti)
tidak digali berdasarkan proses ijtihad. Artinya, ijtihad tidak berhubungan
atau melibatkan dalil-dalil yang bersifat qath‘i, tetapi hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Atas dasar itu, ijtihad tidak berlaku pada perkara-perkara akidahmaupun hukum-hukum syariat yang dalilnya qath‘i; misalnya wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri, hukum razam/cambuk bagi pezina, hukum bunuh bagi orang-orang yang murtad, dan lain sebagainya.
Kedua, ijtihad
adalah proses menggali hukum syariat, bukan proses untuk menggali
hal-hal yang bisa dipahami oleh akal secara langsung (ma‘qûlât)
maupun perkara-perkara yang bisa diindera (al-mahsûsât).
Penelitian dan uji coba di dalam laboratorium hingga menghasilkan sebuah
teorema maupun hipotesis tidak disebut dengan ijtihad.
Ketiga, ijtihad
harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan puncak tenaga dan
kemampuan hingga taraf tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari apa yang
telah dilakukan. Seseorang tidak disebut sedang berijtihad jika ia hanya
mencurahkan sebagian kemampuan dan tenaganya, padahal ia masih mampu melakukan
upaya lebih dari yang telah ia lakukan. (Al-Amidi, op.cit., II/309).
Ijtihad berbeda dengan tarjîh maupun baths al-masâ’il. Tarjîh adalah aktivitas untuk meneliti, mengkaji, dan menetapkan mana
pendapat yang paling râjih (kuat) di antara
pendapat-pendapat yang ada. Baths al-masâ’il tidak berbeda dengan tarjîh, meskipun kadang-kadang juga dilakukan pembahasan-pembahasan hukum-hukum tertentu berdasarkan kaidah-kaidah ijtihad. Akan tetapi, aktivitas
semacam ini dilakukan secara berkelompok, bukan individual. Padahal, ijtihad
adalah aktivitas individual, bukan aktivitas kelompok.
Lingkup Ijtihad
Sebagaimana definisi ijtihad di
atas, lingkup ijtihad hanya terbatas pada penggalian hukumsyariat dari dalil-dalil dzanni. Ijtihad
tidak boleh memasuki wilayah yang sudah pasti (qath‘i), maupun masalah-masalah yang bisa diindera dan dipahami secara
langsung oleh akal.
Di dalam al-Quran ada ayat-ayat
yang jelas penunjukkannya (qath‘i), ada pula yang penunjukkannya zhanni. Ijtihad tidak boleh dilakukan pada ayat-ayat yang jelas (qath‘i) maknanya, misalnya masalah-masalah akidah,
kewajiban shalat lima waktu, zakat, puasa,Haji, dan lain sebagainya.
Perkara-perkara semacam ini bukanlah lingkup ijtihad. Sebab, masalah-masalah
seperti ini sudah sangat jelas dan tidak boleh ada kesalahan di dalamnya. Siapa
saja yang salah dalam mempersepsi perkara-perkara yang sudah qath‘i, maka ia telah terjatuh dalam dosa dan berhak mendapatkan azab
Allah Swt. Sebaliknya, kesalahan dalam perkara-perkara ijtihadiah (zhanni) tidak akan menjatuhkan pelakunya dalam dosa dan maksiyat.
(Al-Amidi, ibid., II/311).
Ijtihad hanya terjadi dan
berlaku pada wilayah furû‘ (cabang) dan zhanni. Perkara-perkara semacam ini disebut perkara ijtihadiah. Disebut
demikian karena ia masih membuka ruang terjadinya perbedaan interpretasi.
Adapun perkara yang melibatkan dalil qath‘i, tidak boleh disebut sebagai perkara ijtihadiah.
Haramnya memilih kepala negara
yang berhaluan sekular dan tidak mendukung penerapansyariat Islam bukanlah perkara ijtihadiah.
Sebab, kebatilan dan pertentangan sekularismedengan Islam adalah perkara qath‘i. Kewajiban menerapkan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat dan
negara juga merupakan perkara yang pasti dan tidak boleh ada perselisihan.
Kewajiban menegakkan kembali Khilafah Islamiyah juga merupakan perkara pasti yang tidak boleh ada
perbedaan di kalangan muslim.
Sayangnya, sebagian orang malah
menolak penerapan syariat Islam dan penegakkan KhilafahIslamiah
dengan dalih ijtihad dan ijtihadiah. Mereka menganggap bahwa perbedaan dalam
masalah semacam ini masih dalam kategori boleh. Alasannya, masing-masing orang
mempunyai ijtihad sendiri-sendiri dan sah-sah saja jika hasil ijtihadnya
berbeda. Akibatnya, umat tidak bisa memilah mana pendapat yang telah menyimpang
dari syariat Islam dan mana pendapat yang masih
terkategori pendapat islami. Ketika disampaikan bahwa berhukum dengan aturan
Allah merupakan kewajiban, dengan entengnya mereka menyatakan, “Itu kanijtihad Anda? Kami mempunyai pendapat dan ijtihad sendiri dalam
masalah ini. Jika kami berbeda dengan Anda, Anda tetap harus menghargai
pendapat kami, dan tidak boleh menyalahkan kami. Bukankah salah dalam ijtihad
tidak berdosa?”
Semua ini diakibatkan karena
umat tidak lagi memahami lingkup ijtihad; mana yang terkategori perkara
ijtihadiah dan mana yang bukan. Akhirnya, umat tidak bisa membedakan pendapat
islami dan pendapat yang telah menyimpang dari akidah dan syariat Islam.
Syarat-syarat Mujtahid
Seseorang layak untuk
berijtihad jika telah memenuhi syarat-syarat berikut ini:
Pertama, memahami
dalil-dalil sam‘i (naqli) yang digunakan untuk membangun kaidah-kaidah hukum. Yang
dimaksud dengan dalil sam‘i adalah al-Quran, as-sunnah,
dan Ijma. Seorang mujtahid harus memahami al-Quran, as-sunnah,
dan Ijma berikut klasifikasi dan kedudukannya. Ia juga harus memiliki kemampuan
untuk memahami, menimbang, mengkompromikan, serta men-tarjîh dalil-dalil tersebut jika terjadi pertentangan. Kemampuan untuk
memahami dan dalil-dalil sam‘i dan
menimbang dalil-dalil tersebut merupakan syarat pokok bagi seorang mujtahid.
Kedua, memahami
arah penunjukkan dari suatu makna yang sejalan dengan pemahaman orang Arab dan
dipakai oleh para ahli balâghah (retorika bahasa Arab).
Seorang mujtahid disyaratkan
harus memiliki kemampuan bahasa yang mencakup kemampuan untuk memahami makna
suatu kata, makna balâghah-nya, dalâlah-nya, pertentangan makna yang dikandung suatu kata, serta mana
makna yang lebih kuat—setelah dibandingkan dengan riwayat tsiqqah dan perkataan ahli bahasa. Seorang mujtahid tidak cukup hanya
mengerti dan menghapal arti sebuah kata berdasarkan pedoman kamus. Akan tetapi,
ia harus memahami semua hal yang berkaitan dengan kata tersebut dari sisi
kebahasaan. (An-Nabhani, op.cit., I/213-216. Lihat juga: Al-Amidi, op.cit. II/309-311).
KEDUDUKAN
IJTIHAD
Kedudukan
Ijtihād
Ijtihād
memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam
setelah al-Qur’ān dan
hadis. Ijtihād dilakukan jika
suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam
al-Qur’ān dan hadis. Namun demikian, hukum
yang dihasilkan dari ijtihād tidak
boleh bertentangan dengan al-Qur’ān maupun
hadis. Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah saw.:
Artinya:
“Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika
mengutusnya
ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang
dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan menurut Kitabullah
(al-Qur’ān).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak
menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan
memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan
jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab,
“Saya akan
mempergunakan
pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihādu bi ra’yi) tanpa bimbang
sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. Yang memberikan
bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.”
(H.R. Darami)
MACAM MACAM IJTIHAD
- Ijma' (kesepakatan) : Pengertian ijma
adalah kesepakatan para ulama untuk menetapkan hukum agama berdasarkan
Al-Qur'an dan Hadist dalam perkara yang terjadi. Hasil dari Ijma berupa
Fatwa artinya keputuan yang diambil secara bersama para ulama dan ahli
agama yang berwenang untuk diikuti oleh seluruh umat.
- Qiyas : Pengertian qiyas adalah
menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan hukum dalam suatu perkara
baru yang belum pernah masa sebelumnya namun memiliki kesamaan seperti
sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dalam perkara sebelumnya
sehingga dihukumi sama. Ijma dan Qiyas adalah sifat darurat dimana ada
yang belum ditetapkan sebelumnya.
- Maslahah Mursalah : Pengertian maslahah mursalah
adalah cara menetapkan hukum yang berdasarkan atas pertimbangan kegunaan
dan manfaatnya.
- Sududz Dzariah : Pengertian sududz dzariah
adalah memutuskan suatu yang mubah makruh atau haram demi kepentingan
umat.
- Istishab : Pengertian istishab adalah
tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan sampai ada alasan yang
mengubahnya.
- Urf : Pengertian urf adalah tindakan dalam
menentukan masih bolehkah adat-istiadat dan kebebasan masyarakat setempat
dapat berjalan selama tidak bertentangan dengan aturan prinsipal Al-Qur'an
dan Hadist.
- Istihsan : Pengertian istihsan adalah tindakan
dengan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan adanya
suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Kesalahan
Persepsi Seputar Ijtihad
Pertama,
sebagian kaum muslim memahami bahwa semua orang berhak dan layak melakukan ijtihad.
Mereka berdalil bahwa setiap mukallaf dibekali Allah dengan akal yang sama dan
setiap Mukmin wajib mengerti hukum syariat berdasarkan pemahamannya sendiri. Untuk itu, setiap orang berhak
melakukan ijtihad meskipun ijtihadnya bisa jadi salah.
Mereka juga beralasan bahwa
ijtihad harus tetap ada hingga Hari kiamat untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang terus berkembang.
Untuk itu, jika setiap orang tidak diberi hak berijtihad, tentu akan terjadi
stagnasi ijtihad. Padahal, stagnasi ijtihad tidak boleh terjadi di
tengah-tengah masyarakat Islam.
Benar, setiap muslim diperintahkan untuk terikat dengan aturan Allah Swt. Seseorang
tidak mungkin bisa terikat dengan aturan Allah jika ia tidak mengerti hukum syariat. Padahal, jalan satu-satunya
untuk menggali hukum adalah ijtihad. Oleh karena itu, adanya ijtihad merupakan
kewajiban bagi kaum muslim.
Namun demikian, ijtihad—sebagaimana definisinya—adalah aktivitas yang sangat
sulit dan berat. Ijtihad juga membutuhkan syarat-syarat yang tidak mudah. Hanya
orang-orang yang memiliki kelayakan dan kemampuan saja yang berhak melakukan
ijtihad. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dan kelayakan tentu tidak
akan mampu melakukan ijtihad sesuai dengan tuntunan Allah Swt. Jika ia
memaksakan diri berijtihad, tentu saja hukum yang ia gali lebih banyak didasarkan pada hawa nafsunya, bukan
didasarkan pada dalil-dalil syariat dan kaidah istinbâth yang benar. Padahal Allah Swt. melarang kaum muslim berhukum berdasarkan hawa nafsunya. Allah Swt. berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَهُمْ
Hendaklah kamu memutuskan
perkara di antara mereka dengan hukum-hukum yang
telah diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (QS
al-Maidah [5]: 49).
Ijtihad memang harus dilakukan
hingga akhir zaman untuk mejawab persoalan-persoalan baru yang tidak ditemukan pada
masa sebelumnya. Akan tetapi, ini tidak berarti semua orang memiliki hak untuk
melakukan ijtihad dengan alasan agar ijtihad tidak mandeg. Syarat-syarat
kelayakan untuk melakukan ijtihad tetap harus dipenuhi. Orang yang tidak
memiliki kemampuan dan memenuhi syarat-syarat ijtihad dilarang melakukan
ijtihad. Dengan kata lain, pintu ijtihad tertutup bagi orang yang tidak
memenuhi syarat kelayakan ijtihad.
Kedua, dengan
dalih ijtihad dan masalah ijtihadiah banyak orang yang akhirnya bersifatpermissive terhadap keragaman pendapat. Padahal, tidak jarang perbedaan
pendapat dalam masalah itu sudah menyangkut hal-hal yang bersifat qath‘i, bukan lagi zhanni. Contohnya perbedaan pendapat
di kalangan kaum muslim tentang sistem pemerintahan Islam. Adasebagian kaum muslim berpendapat bahwa penerapan Islam bisa diwujudkan dalam koridorsistem pemerintahan apapun, baik republik, kekaisaran, federasi, dan sebagainya.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa syariat Islam tidak harus diterapkan secara
struktural dan formal, yang penting adalah substansi dan nilai-nilainya.
Sebagian lagi berpendapat bahwa penerapan syariat Islam boleh dilakukan secara
bertahap, bukan serentak. Perbedaan-perbedaan pendapat dalam hal semacam ini
sesungguhnya adalah perbedaan pendapat yang dilarang dalam Islam. Sebab, masalah sistem pemerintahan di dalam Islam bukanlah termasuk masalah
ijtihadiah. Nash-nash syariat yang sharîh (jelas) telah menyatakan bahwasistem pemerintahan di dalam Islam adalah Khilafah Islamiyah, bukan sistem yang lain.
Ketiga, dengan alasan ijtihadiah juga sebagian kaum muslim telah menutup diri dari pendapat lain. Dengan kata lain, mereka
enggan untuk mencari dan mengkaji mana pendapat yang paling kuat dan benar
berdasarkan prinsip quwwah ad-dalîl (kekuataan argumentasi). Dalam masalah furû‘, meskipun kaum muslim diperbolehkan berbeda pendapat dan pandangan, mereka diperintahkan
untuk mencari dan memilih pendapat yang paling râjih dan kuat. Seorang muslim harus beramal dengan hukum yang dianggapnya paling benar dan kuat. Ia tidak boleh beramal
dengan hukum yang dianggapnya salah dan lemah. Atas dasar itu, seorang muslim tidak boleh menolak pendapat yang lebih kuat dan râjih. Bersikukuh pada pendapat yang sudah terbukti lemah dan ringkih
adalah tindakan dosa yang dicela oleh Islam. Sebab, bolehnya kaum muslim berbeda pendapat dalam masalah furû‘ tidak menafikan wajibnya mereka mencari dan memegang pendapat yang
paling kuat dan râjih. [Syamsuddin Ramadlan]
Contoh Ijtihad
Penentuan I Syawal, Para ulama berkumpul untuk berdiskusi
mengeluarkan argumennya untuk menentukan 1 Syawal, juga penentuan awal
Ramadhan. Setiap ulama memiliki dasar hukum dan cara dalam penghitungannya,
jika telah ketemu maka muncullah kesepakatan dalam penentuan 1 Syawal.
Manfaat Ijtihad
- Setiap permasalahan baru yang dihadapi setiap
umat dapat diketahui hukumnya sehingga hukum islam selalu berkembang serta
sanggup menjawab tantangan.
- Dapat menyesuaikan hukum dengan berdasarkan
perubahan zaman, waktu dan keadaan.
- Menetapkan fatwa terhadap masalah-masalah yang
tidak terkait dengan halal atau haram.
- Dapat membantu umat islam dalam menghapi
setiap masalah yang belum ada hukumnya secara islam.
0 komentar:
Post a Comment